Minggu, 09 November 2008

Barack Obama, Ann, Saman & PPM Manajemen

Yes We Can! Jutaan penduduk dunia menjadi saksi sejarah baru Amerika. Untuk pertama kalinya seorang kulit hitam menjadi pemimpin negara adi kuasa.

Barack Hussein Obama II, secara meyakinkan memenangi ajang pemilihan presiden Amerika Serikat, berhasil mengungguli McCain dari Partai Republik. Kemenangan ini seakan menjadi jawaban atas keraguan banyak pihak, yang tidak yakin Barry akan menjadi orang nomor wahid di Negeri Paman Sam itu. Dengan slogan Yes We Can, Barry tidak sendiri, beserta jutaan warga Amerika Serikat lainnya saling bahu-membahu membawa perubahan tidak hanya bagi Amerika Serikat namun juga bagi dunia.

Tingkat antusiasme rakyat Amerika untuk mengikuti ajang pemilihan presiden kali ini juga menunjukkan peningkatan yang sangat mencolok. Ratusan orang menyemut di tiap tempat pemungutan suara, sungguh pemandangan yang tidak lazim. Biasanya hanya sedikit sekali orang Amerika yang mau meluangkan waktu untuk memilih presiden mereka, namun fenomena Barry telah menyihir warga Amerika, untuk ikut bersama-bersama mengusung perubahan, dan Barry dipercaya untuk memimpin angin perubahan tersebut.

Banyak kisah yang menceritakan kehidupan Barry kecil di Jakarta. Namun sedikit sekali yang menceritakan alasan mengapa ia harus berada di Jakarta. Keberadaan Barry di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari sosok Ann Dunham, mendiang ibunda Barry. Selama di Jakarta Ann Dunham yang biasa disapa Ibu Ann atau Miss Ann bekerja di PPM Manajemen yang pada saat itu masih bernama Lembaga Manajemen PPM. Ann Dunham bekerja sebagai Manajer untuk Program Komunikasi Bisnis. Pada saat itu Ibu Ann berduet dengan almarhum Bapak Anton Hilman yang kemudian menggantikan beliau, ketika Ibu Ann harus kembali ke Hawaii.


Ibu Barack Obama saat masih jadi pengajar di PPM Manajemen bersama Anton Hilman (LPPM) 1975.

Sosok Ann Dunham dikenal sebagai seorang Ibu yang ramah, dan kefasihan berbahasa Indonesia sangat membanggakan. Bapak Lulut Hadi mantan Karyawan PPM Manajemen mengatakan seringkali Ibu Ann mengajak Barry ke kantor, Ibu Ann juga kerap berbicara tentang keadaan keluarganya. Misalnya pernah beliau bercerita bagaimana ia mengajari Barry tentang kedisiplinan, maklum Barry kecil memang dikenal sebagai anak yang cerdas namun hiper aktif . Misalnya Barry tidak mau makan, maka Ibu Ann mengatakan pada Barry boleh ia tidak makan, asalkan jangan meninggalkan meja makan sebelum makananya habis, atau jika Barry telat bangun pagi, maka Ibu Ann membiarkan saja hingga akhirnya terbangun dengan sendirinya, tampaknya Ibu Ann sengaja, karena nanti Barry menjadi terlambat dan dihukum di sekolah, melalui cara ini Ibu Ann berharap semoga Barry belajar tentang disiplin dan konsekuensinya jika tidak berlaku disiplin.

IA cuma pegawai rendahan. Pekerjaannya saban pagi adalah menyiapkan proyektor dan LCD di ruang kelas PPM Institute of Management, di kawasan Menteng, Jakarta. Tapi Rabu siang pekan lalu, Saman, anggota staf bagian umum lembaga pendidikan itu, mendadak menjadi selebritas.

Saat Barack Obama disebut sebagai Presiden Amerika terpilih untuk periode 2009-2013 pada siang itu (atau Selasa malam di Chicago, Amerika Serikat), teman-teman sekantor Saman langsung menyerbunya. ”Selamat, Pak,” kata seseorang yang menyalaminya di lift. ”Kalau enggak ada Bapak, Obama tak akan jadi presiden,” ucap yang lain.
Obama bagi pria 58 tahun asal Gunung Kidul itu memang bukan nama yang asing. Ia bagian dari kehidupan masa lalu Saman. Saat itu, 38 tahun silam, Saman mendapat tugas dari ibu Obama, Stanley Ann Dunham, untuk ”mengikuti Barry ke mana pun dia pergi”. Barry adalah nama panggilan Obama kecil.

Keluarga Barry ketika itu belum lama pindah dari Jalan KH Ramli Nomor 16, Menteng Dalam, Jakarta, ke Jalan Taman Matraman Barat Nomor 22. Barry tinggal bersama Ann, Lolo Soetoro—ayah tirinya—dan adiknya, Maya Kassandra Soetoro, serta tiga pembantu yang lain. Lolo bekerja pada bagian topografi TNI Angkatan Darat, sebelum pada 1972 pindah kerja ke Union Oil, perusahaan minyak Amerika yang kelak berganti nama menjadi Unocal (terakhir Chevron).

Saman masih ingat pada 1970 itu ia kerap mengantar Barry ke Sekolah Dasar 01 Besuki (sekarang SD Menteng 1) menggunakan sepeda ontel. Ia bertugas mengantar bila Barry tak ikut mobil jemputan ibunya, yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di PPM (yang waktu itu berlokasi) di Budi Kemuliaan, Jakarta. Di jalan itulah, atau saat bermain, teman-teman Barry kerap meledeknya dengan panggilan ”Negro, Negro”. Obama membalas ejekan itu dengan teriakan ”Huuu… kampungan!”
”Barry sudah mulai lancar berbahasa Indonesia dan sudah bisa bilang lu-gue,” ujar Saman kepada Tempo.

Obama bersekolah di Jakarta dari 1968 hingga akhir 1971. Ia belajar di SD Fransiskus Strada Asisi (sekarang SD Katolik Fransiskus Asisi) sejak 1968 hingga awal 1970. Selanjutnya, ia pindah ke SD 01 Besuki saat kelas III hingga kelas IV. Ia kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Hawaii.

Sebelum Obama berangkat ke sekolah, Ann biasanya memberinya tugas belajar. Tugas itu harus diselesaikan sebelum sang ibu pulang kerja. ”Kalau Barry tak menyelesaikan tugas yang diberikan ibunya, dia akan dikunci di dalam kamar,” kata Saman.
Saman pun mengingat suatu obrolan antara Obama dan Lolo Soetoro. ”Kamu besok mau jadi apa?” tanya Lolo. Obama menjawab, ”Ingin jadi PM.” Saman baru ngeh sekarang bahwa PM yang dimaksudkan Barry dulu adalah perdana menteri. ”Cita-citanya kesampaian,” kata Saman.

Saman, ”sang pengawal” Presiden Amerika, tak punya rencana hajatan saat Obama terpilih jadi presiden. Ia hanya warga jelata yang setiap hari naik sepeda motor dari rumahnya di Pulogebang, Jakarta Timur, ke kantornya untuk menyiapkan properti sekolah. Sudah sejak 1972 ia bekerja di sana. Ann-lah yang meminta PPM mempekerjakan Saman menjelang pulang ke Hawaii. Saman mengawali karier sebagai juru parkir dan masuk bagian yang ia tempati sekarang sejak 1975. Dunia Saman masih tak beranjak jauh dari mesin proyektor.

sumber: Purel Media PPM Manajemen & tempointeraktif 10 November 2008

Tidak ada komentar: